Rabu, 30 Desember 2009

Etika Bisnis dan Pendidikan

Etika Bisnis dan Pendidikan

Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap
menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika dalam berbisnis atau tidak.

Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi
penyimpangan norma-norma etis, meski perusahaan-perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis
yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan
swasta, BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam
pelaporan kinerja keuangan perusahaan.

Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan bagi perusahaan terdaftar di BEJ, misalnya seringkali dilanggar
dan jelas merugikan para pemangku kepentingan (stakeholders),terutama pemegang saham dan masyarakat luas
lainnya.Berbagai kasus insider trading dan banyaknya perusahaan publik yang di-suspend perdagangan sahamnya oleh
otoritas bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang terjadi
akibat eksploitasi sumber daya alam dengan alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhitungkan
daya dukung ekosistem lingkungan.

Bisa dibayangkan, dampak nyata akibat ketidakpedulian pelaku bisnis terhadap etika berbisnis adalah budaya korupsi
yang semakin serius dan merusak tatanan sosial budaya masyarakat. Jika ini berlanjut, bagaimana mungkin investor
asing tertarik menanamkan modalnya di negeri kita? Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa kesemua ini
terjadi? Apakah para pengusaha tersebut tidak mendapatkan pembelajaran etika bisnis di bangku kuliah? Apa yang salah
dengan pendidikan kita, karena seharusnya lembaga pendidikan berfungsi sebagai morale force dalam menegakkan nilai-
nilai kebenaran dalam berbisnis?

Bagaimana sebenarnya etika bisnis diajarkan di sekolah—kalaupun ada—dan di perguruan tinggi? Etika bisnis
merupakan mata kuliah yang diajarkan di lingkungan pendidikan tinggi yang menawarkan program pendidikan bisnis dan
manajemen. Beberapa kendala sering dihadapi dalam menumbuhkembangkan etika bisnis di dunia pendidikan.
Pertama, kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa program
manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini mencetak lulusan sebagai mencetak pengusaha. Persepsi demikian
tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan/program studi nonbisnis yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu
harus memahami etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha,
termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders, termasuk tentunya karyawan.

Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan
tanpa kepatuhan karyawan dalam menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Kedua,
pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri dan tidak
terintegrasi dengan pembelajaran pada mata kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai subjek didik harus
mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses
pembelajaran harus diutamakan. Sehingga masuk akal apabila etika bisnis—aspek afektif/ sikap dalam hal ini—
disisipkan di berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah ini
cenderung monoton.Pengajaran lebih banyak menggunakan metode ceramah langsung.

Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, sayangnya tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus-kasus
yang dibahas. Hal ini disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang
cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau tidaknya
suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi
pemakaian? Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron di Amerika Serikat.
Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.

Nilainilai moral dan etika dalam berperilaku bisnis akan lebih efektif diajarkan pada saat usia emas (golden age) anak,
yaitu usia 4–6 tahun. Karena itu, pengajarannya harus bersifat tematik. Pada mata pelajaran agama, misalnya, guru bisa
mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh bagaimana Nabi Muhammad SAW berdagang dengan tidak
mengambil keuntungan setinggi langit. Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu yang tidak mungkin mengajarkan
anak di rumah tentang etika bisnis karena mereka bukan pengusaha. Pandangan sempit ini dilandasi pemahaman
bahwa etika bisnis adalah urusan pengusaha.

Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi tanggung jawab kita sebagai konsumen. Orangtua dapat
mengajarkan etika bisnis di lingkungan keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak
atas kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak membelikan mereka VCD, game software, dan produk bajakan
lain dengan alasan yang penting murah. Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam pengajaran
etika bisnis. Misalnya masih sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya pada saat
kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan ikhlas.

Pendidik menerima hadiah tersebut dengan senang hati dan dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua
siswa tersebut kepada teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah tersebut. Tidakkah kita sadari,
kondisi seperti ini akan memberikan kesan mendalam pada anak kita? Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam
berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi
peningkatan peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan pemberdayaan kualitas hidup
masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).

Pada saat kita berperan sebagai konsumen, seyogianya memahami betul hak dan kewajiban dalam menghargai karya
orang lain. Orangtua harus menjadi model panutan dengan memberikan contoh baik tentang perilaku berbisnis kepada
anak sehingga kelak mereka akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti betul arti penting etika bisnis.
Pemerintah sebagai regulator pasar turut berperan mengawasi praktik negatif para pelaku ekonomi. Sudah saatnya
pemerintah mempertimbangkan etika bisnis termuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Peran aktif para
pelaku ekonomi ini pada akhirnya akan menjadikan dunia bisnis di Tanah Air surga bagi investor asing.



Sumber: (*) Drs. Dedi Purwana E.S., M.Bus. Direktur Eksekutif the Indonesian Council on Economic Education (ICEE) http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/etika-bisnis-dan-pendidikan.html
http://www.duniaesai.com/manajemen/man10.html

Nilai Dasar dan Prinsip Umum Etika Bisnis Islami

Apakah dalam bisnis diperlukan etika atau moral? Jawabannya sangat diperlukan dalam rangka untuk melangsungkan bisnis secara teratur, terarah dan bermartabat. Bukanlah manusia adalah makhluk yang bermartabat?
Islam sebagai agama yang telah sempurna sudah barang tentu memberikan rambu-rambu dalam melakukan transaksi, istilah al-tijarah, al-bai’u, tadayantum dan isytara (Muhammad dan Lukman Fauroni, 2002: 29) yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai pertanda bahwa Islam memiliki perhatian yang serius tentang dunia usaha atau perdagangan. Dalam menjalankan usaha dagangnya tetap harus berada dalam rambu-rambu tersebut. Rasulullah Saw telah memberikan contoh yang dapat diteladani dalam berbisnis, misalnya:
1. Kejujuran.
Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu pengetahuan, dan hal-hal yang bersifat rahasia yang wajib diperlihara atau disampaikan kepada yang berhak menerima, harus disampaikan apa adanya tidak dikurangi atau ditambah-tambahi (Barmawie Umary, 1988: 44). Orang yang jujur adalah orang yang mengatakan sebenarnya, walaupun terasa pahit untuk disampaikan.
Sifat jujur atau dapat dipercaya merupakan sifat terpuji yang disenangi Allah, walaupun disadari sulit menemukan orang yang dapat dipercaya. Kejujuran adalah barang mahal. Lawan dari kejujuran adalah penipuan. Dalam dunia bisnis pada umumnya kadang sulit untuk mendapatkan kejujuran. Laporan yang dibuat oleh akuntan saja sering dibuat rangkap dua untuk mengelak dari pajak.

يأيها الذين امنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين #
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur”
(Q.S. al-Taubah: 119)

والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون #
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amant
(yang dipikulnya) dan janjinya”
(Q.S. al-Mu’minun: 8)

Rasulullah Saw pada suatu hari melewati pasar, dimana dijual seonggok makanan. Beliau masukkan tangannya keonggokan itu, dan jari-jarinya menemukannya basah. Beliau bertanya: “Apakah ini hai penjual”? Dia berkata “Itu meletakannya di atas agar orang melihatnya? Siapa yang menipu kami, maka bukan dia kelompok kami” (Quraish Shihab, Ibid.: 8).

2. Keadilan
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويلا
(الإسراء:35)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(Q.S. al-Isra’: 35)

Dalam ayat lain yakni Q.S. al-Muthaffifin: 1-3 yang artinya:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar
atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”

Dari ayat di atas jelas bahwa berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang celaka (wail). Kata ini menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Berbisnis dengan cara yang curang menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini menghilangkan nilai kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, kemudian ia terpuruk dalam kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya penuh dengan kecurangan, ketidakadilan dan mendzalimi orang lain.

3. Barang atau produk yang dijual haruslah barang yang halal, baik dari segi dzatnya maupun cara mendapatkannya. Berbisnis dalam Islam boleh dengan siapapun dengan tidak melihat agama dan keyakinan dari mitra bisnisnya, karena ini persoalan mu’amalah dunyawiyah, yang penting barangnya halal. Halal dan haram adalah persoalan prinsipil. Memperdagangkan atau melakukan transaksi barang yang haram, misalnya alkohol, obat-obatan terlarang, dan barang yang gharar dilarang dalam Islam (Muhammad dan R.Lukman F, op.cit.: 136-138).
Di bawah ini tabel tentang prinsip-prinsip halal dan haram dalam Islam, adalah sebagai berikut:
Prinsip Halal dan Haram

No. Prinsip Halal dan Haram
1.
2.

3.

4.

5.

6.
7.
8.
9.
10.
11. Prinsip dasarnya adalah diperbolehkan segala sesuatu.
Untuk membuat absah dan untuk melarang adalah hak Allah semata.
Melarang yang halal dan menbolehkan yang haram sama dengan syirik.
Larangan atas segala sesuatu didasarkan atas sifat najis dan melukai.
Apa yang halal adalah yang diperbolehkan, dan yang haram adalah yang dilarang.
Apa yang mendorong pada yang haram adalah juga haram.
Menganggap yang haram sebagai halal adalah dilarang.
Niat yang baik tidak membuat yang haram bisa diterima.
Hal-hal yang meragukan sebaiknya dihindari.
Yang haram terlarang bagi siapapun.
Keharusan menetukan adanya pengecualian.
Sumber: Lihat Muhammad dan R. Luman Faurani, Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 132. Lihat juga Choril Fuad Yusuf, “Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global”, dalam Ulumul Qur’an, No. 3/V/1997, hlm. 16.

Secara umum Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu. Nilai-nilai dasar etika bisnis dalam Islam adalah tauhid, khilafah, ibadah, tazkiyah dan ihsan. Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke prinsip umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan (transparansi), kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan akuntabilitas. Semua ini akan lebih mudah dipahami dalam bentuk tabel berikut ini:

Nilai Dasar dan Prinsip Umum Etika Bisnis Islami

Nilai Dasar Prinsip Umum Pemaknaan
Tauhid Kesatuan dan Integrasi









Kesamaan  Integrasi antar semua bidang kehidupan, agama, ekonomi, dan sosial-politik-budaya.
 Kesatuan antara kegiatan bisnis dengan moralitas dan pencarian ridha Allah.
 Kesatuan pemilikan manusia dengan pemilikan Tuhan. Kekayaan (sebagai hasil bisnis) merupakan amanah Allah, oleh karena itu didalam kekayaan terkandung kewajiban sosial.

 Tidak ada diskriminasi diantara pelaku bisnis atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin, atau agama.
Khilafah Intelektualitas





Kehendak Bebas



Tanggungjawab dan Akuntabilitas  Kemampuan kreatif dan konseptual pelaku bisnis yang berfungsi membentuk, mengubah dan mengembangkan semua potensi kehidupan alam semesta menjadi sesuatu yang konkret dan bermanfaat.
 Kemampuan bertindak pelaku bisnis tanpa paksaan dari luar, sesuai dengan parameter ciptaan Allah.

 Kesediaan pelaku bisnis untuk bertang gungjawab atas dan mempertanggung jawabkan tindakannya.
Ibadah Penyerahan Total  Kemampuan pelaku bisnis untuk mem bebaskan diri dari segala ikatan penghambaan manusia kepada ciptaan nya sendiri (seperti kekuasaan dan kekayaan).
 Kemampuan pelaku bisnis untuk men jadikan penghambaan manusia kepada Tuhan sebagai wawasan batin sekaligus komitmen moral yang berfungsi mem berikan arah, tujuan dan pemaknaan terhadap aktualisasi kegiatan bisnisnya.
Tazkiyah Kejujuran






Keadilan






Keterbukaan  Kejujuran pelaku bisnis untuk tidak mengambil keuntungan hanya untuk dirinya sendiri dengan cara menyuap, menimbun barang, berbuat curang dan menipu, tidak memanipulasi barang dari segi kualitas dan kuantitasnya.

 Kemampuan pelaku bisnis untuk men ciptakan keseimbangan/moderasi dalam transaksi (mengurangi timbangan) dan membebaskan penindasan, misalnya riba dan memonopoli usaha.

 Kesediaan pelaku bisnis untuk meneri ma pendapat orang lain yang lebih baik dan lebih benar, serta menghidupkan potensi dan inisiatif yang konstruktif, kreatif dan positif.
Ihsan Kebaikan bagi orang lain





Kebersamaan  Kesediaan pelaku bisnis untuk memberi kan kebaikan kepada orang lain, misalnya penjadwalan ulang, menerima pengembalian barang yang telah dibeli, pembayaran hutang sebelum jatuh tempo.

 Kebersamaan pelaku bisnis dalam membagi dan memikul beban sesuai dengan kemampuan masing-masing, kebersamaan dalam memikul tanggung jawab sesuai dengan beban tugas, dan kebersamaan dalam menikmati hasil bisnis secara proporsional.
Sumber: M.A. Fattah Santoso, “Etika Bisnis: Perspektif Islam”, dalam Maryadi dan Syamsuddin (ed.)., Agama Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi Politik. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001, hlm. 213-214.

4. Tidak Ada Unsur Penipuan
Penipuan atau al-tadlis / al-ghabn sangat dibenci oleh Islam, karena hanya akan merugikan orang lain, dan sesungguhnya juga merugikan dirinya sendiri. Apabila seseorang menjual sesuatu barang, dikatakan bahwa barang tersebut kualitasnya sangat baik, kecacatan yang ada dalam barang disembunyikan, dengan maksud agar transaksi dapat berjalan lancar. Tetapi setelah terjadi transaksi, barang sudah pindah ke tangan pembeli, ternyata ada cacat dalam barang tersebut. Berbisnis yang mengandung penipuan sebagai titik awal kehancuran bisnis tersebut.



Sumber : http://eprints.ums.ac.id/281/1/Artikel-4.doc

APAKAH ETIKA BISNIS PENTING?

Apakah memang ada etika bisnis ? Apakah bisnis memang perlu memperhatikan etika ? Bukankah bisnis dan etika berada di dua dunia yang berbeda ? Demikianlah opini yang sering beredar di kalangan masyarakat, terutama masyarakat yang berkecimpung di dunia bisnis. Jangan-jangan etika bisnis itu hanya terdapat dalam teori di kampus-kampus semata. Toh, pada kenyataannya, jika memang mau untung, sering kita harus melupakan etika. Benarkah demikian?
Baiklah, mari kita lihat dulu, apa sih sebenarnya pengertian etika tersebut. Apakah itu etika ? Banyak sekali definisi yang berkaitan dengan etika. Tetapi pada intinya adalah, semua norma atau “aturan” umum yang perlu diperhatikan dalam berbisnis yang merupakan sumber rujukan nilai-nilai yang luhur dan kebajikan. Etika berbeda dengan hukum atau regulasi, di mana hukum dan regulasi jelas aturan main dan sanksinya, atau dengan perkataan lain hukum atau regulasi adalah etika yang sudah diformalkan.
Jadi dengan demikian, etika tersebut memanag tidak memiliki sanksi yang jelas, selain barangkali sanksi moral, atau sanksi dari Yang Maha Kuasa. Jadi, jika bersandar kepada definisi hukum, maka melanggar etika belum tentu berarti melanggar hukum. Jika melanggar hukum, sanksinya jelas berupa pidana atau perdata, sementara itu melanggar etika sanksinya tidak jelas, atau hanya sanksi moral semata. Jadi, sering etika tidak begitu diperhatikan.
Etika juga tidak sama dengan etiket, di mana etiket adalah suatu tatakrama pergaulan pada komunitas dan situasi tertentu yang disepakati bersama. Misalnya cara makan yang baik, cara berjalan yang baik, dan sebagainya. Ini adalah etiket, dan etiket itu bisa jadi merupakan bagian dari etika.
Nah, pada tulisan ini saya akan membahas mengenai etika, bukan etiket, bukan pula hukum atau regulasi. Misalnya contoh kasus begini, Anda menjual handset dengan mutu rendah atau cacat, tetapi dengan suatu cara jitu, Anda berhasil menyembunyikan masalah pada handset itu sehingga secara kasat mata tidak diketahui oleh pemakai, kecuali setelah menggunakannya selama beberapa waktu. Kemudian Anda membuat aturan, bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar / dikembalikan lagi dan barang itu tanpa garansi. Lalu ada orang yang membeli handset tersebut, dan tentu saja sebagai orang awam, dia tidak bisa melihat masalah atau kerusakan pada handset tersebut, dan transaksi pun terjadi. Tidak lupa Anda mengingatkan kepada dia bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar / dikembalikan lagi.
Setelah beberapa waktu, ternyata dia komplain kepada Anda bahwa ada masalah pada handset yang dia beli dan dia menuntut Anda untuk menggantinya. Lalu Anda berdalih, bahwa waktu terjadi transaksi dulu kan barangnya bagus-bagus saja, tidak ada masalah, dan si pembeli tidak komplain apa-apa. Lalu dengan dalih bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar / dikembalikan lagi, Anda menolak untuk mengganti handset tersebut, apalagi memang tidak ada garansi.
Salahkah Anda ? Secara hukum bisa jadi Anda benar. Tanpa menyewa pengacara handal pun, rasanya sudah bisa ditebak bahwa Anda akan menang berdebat dengan si pembeli tadi. Tetapi dari sisi pandang etika bisnis, Anda jelas-jelas salah, di mana Anda sebenarnya sudah mengetahui bahwa barang tersebut ada cacatnya atau ada masalahnya, tetapi Anda sembunyikan atau tidak memberitahu si pembeli. Artinya, dari awal Anda sudah tidak memiliki itikad baik dalam berdagang. Tetapi siapa yang bisa mengukur itikad ? Susah kan ? Sudah pasti dengan berbagai dalih, di kacamata hukum, bisa jadi Anda memang. Bahkan undang-undang perlindungan konsumen pun agak susah dipergunakan di sini. Bagaimana proses pembuktiannya ?
Oke lah, katakan Anda menang, tetapi benarkan Anda menang ? Dalam jangka pendek iya ! Tetapi tentu saja si pembeli tidak akan puas, dan karena dia “dikalahkan secara hukum” maka dia akan menulis surat pembaca di koran atau menyampaikan keluhan dia ke lembaga konsumen, atau menyampaikan kepada orang-orang lain. Dalam jangka panjang, akan terbentuk opini masyarakat mengenai toko Anda, yaitu menjual barang rusak dan tidak bagus. Ini jelas opini negatif, dan berpotensi untuk menjatuhkan reputasi Anda, dan lambat-laun, bisa jadi pembeli cenderung menurun. Jadi, dalam jangka panjang bisnis Anda bisa bermasalah. Di sini jelas terlihat, bahwa sanksi etika itu hanya berbentuk sanksi moral dan baru terlihat dalam jangka panjang.
Jadi, dalam jangka pendek, bisnis yang tidak memperhatikan etika bisa jadi menuai keuntungan, tetapi dalam jangka panjang, biasanya bermasalah dan mendapatkan sanksi moral dari masyarakat.
Oke, sekarang Anda sudah tahu bahwa etika itu penting. Sekarang, bagaimanakah sebenarnya bisnis yang beretika tersebut ? Apakah standar etika ? Nah, sekali lagi, etika tidak ada standar, karena kalau Anda meminta standar etika, sebenarnya Anda meminta hukum atau regulasi yang formal. Bisa jadi ada aspek-aspek etika yang sudah diformalkan menjadi hukum dan regulasi, tetapi masih sangat banyak yang belum. Misalnya, bagaimana Anda memformalkan itikad baik ? menyembunyikan informasi ? dan sebagainya. Dengan mudah dalih sederhana akan membuat Anda menang.
Tetapi berbagai pemikir etika di dunia mencoba untuk membuat panduan. Salah satunya adalah “prinsip bolak-balik” atau prinsip imperatif dalam etika yang dipopulerkan oleh filsul Immanuel Kant, di mana sesuatu tindakan dianggap tidak beretika apabila orang lain melakukannya kepada Anda, maka Anda tidak bisa menerimanya. Maksudnya begini, apakah bisa menerima jika Anda dipukul oleh orang lain ? Tentu saja tidak ! Rasanya akan sakit. Nah, berdasarkan “prinsip bolak-balik”, maka memukul orang lain dianggap tidak beretika, karena Anda pun tidak mau dipukul. Nah, di sini batasannya sangat subyektif sekali bukan ? Tetapi prinsip bolak-balik sudah cukup menjadi panduan etika yang sangat berpengaruh.
Apakah Anda bisa menerima kalau ternyata dibohongi oleh orang lain dalam berbisnis ? Jawabannya pasti tidak mau ! Maka dengan demikian, membohongi konsumen, atau menyembunyikan informasi yang penting (information asymmetry) adalah tindak yang tidak beretika dalam bisnis.
Kasus lain, katakan seperti ini, sekelompok penjual kartu isi ulang merek tertentu dengan sengaja menumpuk atau tidak menjual kartu isi ulang dengan harapan, akan terjadi kelangkaan di pasar, dan mereka bisa menaikkan harga atau menjual lebih tinggi, sesuai dengan teori demand and supply atau permintaan dan penawaran dalam ekonomi. Secara hukum mungkin saja hal ini melanggar peraturan atau regulasi, tetapi sekali lagi, jelas pembuktiannya sangat sulit. Ini adalah masalah itikad baik. Bagaimana pandangan etika mengenai hal ini ?
Sekali lagi, dengan “prinsip bolak-balik”, sekali lagi kita bisa menilai, apakah sesuatu itu beretika atau tidak. Apakah kita bisa menerima jika seandainya ada orang lain yang menimbun barang sehingga harganya mahal dan kita adalah konsumen barang tersebut ? Jika kita ikut kesal dengan ulah “spekulan” seperti ini, maka kegiatan menimbun barang tersebut dikategorikian tindakan tidak beretika.
Kesimpulannya, suatu tindakan dianggap beretika apabila Anda pun tidak keberatan jika orang lain melakukan hal itu terhadap diri Anda, sesuai dengan prinsip bolak-balik.
Tetapi masalahnya tidak semua orang memiliki wawasan atau pandangan yang sama. Semakin terdidik atau terpelajar, atau semakin luas wawasan seseorang, maka biasanya semakin komprehensif analisisnya untuk etika ini. Misalnya begini, apakah membuang sampah ke sungai itu melanggar etika ? Bagi orang yang tidak mengerti masalah lingkungan hidup, maka membuang sampah ke sungai itu sah-sah saja, dan dia pun tidak keberatan jika ada orang lain yang membuang sampah ke sungai. Dalam perspektif orang ini, jelas membuang sampah ke sungai tidak bertentangan dengan etika. Tetapi buat orang yang mengerti masalah lingkungan hidup, dan paham bahwa ini akan mengakibatkan banjir, maka dia akan menilai bahwa membuang sampah ke sungai adalah tindakan yang melanggar etika.
Begitu juga dalam berbisnis. Tidak semua pelaku bisnis menyadari apa dampak ekonomi dan sosial dari apa yang mereka lakukan. Apalagi yang sifatnya dampak tidak langsung, lebih tidak disadari lagi. Misalnya menjual barang rusak atau cacat. Bisa jadi Anda menganggap toh sah-sah saja menjual barang rudak atau cacat, karena Anda yakin semua konsumen akan memeriksa dulu setiap barang yang akan mereka beli. Kalau oke, silakan beli, kalau tidak, ya tidak apa-apa. Sepintas lalu, kelihatannya hal seperti ini tidak ada masalah, tetapi dia akan menjadi masalah begitu kita menyadari bahwa ternyata tidak semua konsumen itu mampu memerika barang yang kita jual tersebut dengan baik.
Nah, di sini Anda bisa berdalih kan ? Salah sendiri kenapa tidak memeriksa dulu barang yang dibeli ? Persoalannya tidak sesederhana itu, karena sekali lagi setiap individu itu punya wawasan serta kemampuan yang berbeda-beda. Rasanya akan sakit sekali jika ketahuan belakangan bahwa ternyata kita membeli barang yang rusak atau cacat, tetapi si penjual tidak menyampaikannya kepada kita, alias si penjual tidak memberikan informasi yang utuh mengenai produk yang dijual atau information asymmetry. Nah, Anda bisa saja berdalih, salah sendiri kenapa tidak teliti atau tidak bertanya sewaktu membeli. Akhirnya kita kembali kepada aspek lain dari etika, yaitu itikad baik. Jelas, ada suatu itikad yang tidak baik dari Anda untuk tidak menyampaikan kerusakan atau cacat barang tersebut kepada konsumen.
Kesimpulannya, etika bisnis sangat tergantung kepada itikad baik, dan hanya Anda sendirilah yang mengetahui itikad baik ini, orang lain susah atau bahkan tidak akan tahu sama sekali, bahkan jika Anda melanggar pun, orang lain tidak mudah untuk mengetahuinya.

sumber : http://www.ririsatria.net/2008/10/07/etika-bisnis-pentingkah/

MASALAH POKOK DALAM ETIKA BISNIS

Andaikan anda adalah seorang direktur teknik yang harus menerapkan teknologi baru. Anda tahu teknologi ini diperlukan dapat meningkatkan efisiensi industri, namun pada saat yang sama juga membuat banyak pegawai yang setia akan kehilangan pekerjaan, karena teknologi ini hanya memerlukan sedikit tenaga kerja saja. Bagaimana sikap anda? Dilema moral ini menunjukkan bahwa masalah etika juga meliputi kehidupan bisnis. Perusahaan dituntut untuk menetapkan patokan etika yang dapat diserap oleh masyarakat dalam pengambilan keputusannya. Sedangkan di pihak lain, banyak masyarakat menganggap etika itu hanya demi kepentingan perusahaan sendiri. Tantangan yang dihadapi serta kesadaran akan keterbatasan perusahaan dalam memperkirakan dan mengendalikan setiap keputusannya membuat perusahaan semakin sadar tentang tantangan etika yang harus dihadapi.

INOVASI, PERUBAHAN DAN LAPANGAN KERJA
Aspek bisnis yang paling menimbulkan pertanyaan menyangkut etika adalah inovasi dan perubahan. Sering terjadi tekanan untuk berubah membuat perusahaan atau masyarakat tidak mempunyai pilihan lain. Perusahaan harus menanam modal pada mesin dan pabrik baru yang biasanya menimbulkan masalah karena ketidakcocokan antara keahlian tenaga kerja yang dimiliki dan yang dibutuhkan oleh teknologi baru. Sedangkan perusahaan yang mencoba menolak perubahan teknologi biasanya menghadapi ancaman yang cukup besar sehingga memperkuat alasan perlunya melakukan perubahan. Keuntungan ekonomis dari inovasi dan perubahan biasanya digunakan sebagai pembenaran yang utama.
Sayangnya biaya sosial dari perubahan jarang dibayar oleh para promotor inovasi. Biaya tersebut berupa hilangnya pekerjaan, perubahan dalam masyarakat, perekonomian, dan lingkungan. Biaya-biaya ini tak mudah diukur. Tantangan sosial yang paling mendasar berasal dari masyarakat yang berdiri di luar proses. Dampak teknologi baru bukan mustahil tak dapat diprediksi. Kewaspadaan dan keterbukaan yang berkesinambungan merupakan tindakan yang penting dalam usaha perusahaan memenuhi kewajibannya.
Dampak inovasi dan perubahan terhadap tenaga kerja menimbulkan banyak masalah dibanding aspek pembangunan lainnya. Banyak pegawai menganggap inovasi mengecilkan kemampuan mereka. Hal ini mengubah kondisi pekerjaan serta sangat mengurangi kepuasan kerja. Perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan lapangan kerja dan menciptakan tenaga kerja yang mampu bekerja dalam masa perubahan. Termasuk di dalamnya adalah
mendukung, melatih, dan mengadakan sumber daya untuk menjamin orang-orang yang belum bekerja memiliki keahlian dan dapat bersaing untuk menghadapi dan mempercepat perubahan.

PASAR DAN PEMASARAN
Monopoli adalah contoh yang paling ekstrem dari distorsi dalam pasar. Ada banyak alasan untuk melakukan konsentrasi industri, misal, meningkatkan kemampuan berkompetisi, memudahkan permodalan, hingga semboyan “yang terkuat adalah yang menang”. Penyalahgunaan kekuatan pasar melalui monopoli merupakan perhatian klasik terhadap bagaimana pasar dan pemasaran dilaksanakan. Kecenderungan untuk berkonsentrasi dan kekuatan nyata dari perusahaan raksasa harus dilihat secara hati-hati.
Banyak kritik diajukan pada aspek pemasaran, misal, penyalahgunaan kekuatan pembeli, promosi barang yang berbahaya, menyatakan nilai yang masih diragukan, atau penyalahgunaan spesifik lain, seperti iklan yang berdampak buruk bagi anak-anak. Diperlukan kelompok penekan untuk mengkritik tingkah laku perusahaan. Negara pun dapat menentukan persyaratan dan standar.

PENGURUS DAN GAJI DIREKSI
Unsur kepengurusan adalah bagian penting dari agenda kebijaksanaan perusahaan karena merupakan kewajiban yang nyata dalam bertanggungjawab terhadap barang dan dana orang lain. Perusahaan wajib melaksanakan pengurusan manajemen dengan tekun atas semua harta yang dipertanggungjawabkan pada pemberi tugas. Tugas terutama berada pada pundak direksi yang diharapkan bertindak loyal, dapat dipercaya, serta ahli dalam menjalankan tugasnya. Mereka tidak boleh menyalahgunakan posisinya. Mereka bertanggung jawab pada perusahaan juga undang-undang. Dalam hal ini auditing memegang peranan penting dalam mempertahankan stabilitas antara kebutuhan manajer untuk menjalankan tugasnya dan hak pemegang saham untuk mengetahui apa yang sedang dikerjakan para manajer. Perdebatan mengenai gaji direksi terjadi karena adanya ketidakadilan dalam proses penentuannya, ruang gerak yang dimungkinkan bagi direksi, kurang jelasnya hubungan antara kinerja organisasi dan penggajian, paket-paket tambahan tersembunyi dan kelemahan dalam pengawasan. Tampaknya gaji para direksi meningkat, sementara tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata cenderung menurun, dan nilai saham berfluktuasi. Hal ini menimbulkan kritik dan kesadaran untuk menyoroti kenaikan gaji para eksekutif senior. Informasi dan pembatasan eksternal merupakan unsur penting dalam upaya menyelesaikan penyalahgunaan yang terjadi.

TANTANGAN MULTINASIONAL
Sering terjadi, perusahaan internasional mengambil tindakan yang tak dapat diterima secara lokal. Banyak pertanyaan mendasar bagi perusahaan multinasional, seperti kemungkinan masuknya nilai moral budaya ke budaya masyarakat lain, atau kemungkinan perusahaan mengkesploitasi lubang-lubang perundang-undangan dalam sebuah negara demi kepentingan mereka. Dalam prakteknya, perusahaan internasional mempengaruhi perkembangan ekonomi sosial masyarakat suatu negara. Mereka dapat mensukseskan aspirasi negara atau justru malah membuat frustasi dengan menghambat tujuan nasional. Hal ini meningkatkan kewajiban bagi perorangan maupun industri untuk melaksanakan aturan kode etik secara internal maupun eksternal.

(Sumber: Tom Cannon, Coporate Responsibility)
http://indosdm.com/masalah-pokok-dalam-etika-bisnis

Etika Islam Tentang Bisnis

Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."

Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."

Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"

Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.

Sumber:
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/ekonomi-syariah/1263-etika-bisnis-dalam-perpektif-islam

Wacana Etika dalam Bisnis

Perbincangan tentang "etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) "bertangan kotor".
Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Begitu kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Wacana tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max weber dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika. Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang terakhir.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.

sumber:
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/ekonomi-syariah/1263-etika-bisnis-dalam-perpektif-islam

Etika Dalam Dunia Bisnis

Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah

tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun 2000 dapat diatasi.
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh? Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi.
Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabdian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang.
Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.

Sumber:
http://fe.usu.ac.id/files/Etika%20bisnis%20manajemen-ritha8.pdf

Moral Dalam Dunia Bisnis

Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka Jepang dan dengan diperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik ditahun 2000 menjadi daerah perdagangan yang bebas sehingga baik kita batas dunia akan semakin "kabur" (borderless) world. Hal ini jelas membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadang kala untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan tadi, memaksa orang untuk menghalalkan segala cara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau tidak.
Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin berpacu dengan waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan apakah yang diharapkan oleh pemimpin APEC tersebut dapat terwujud manakala masih ada bisnis kita khususnya dan internasional umumnya dihinggapi kehendak saling "menindas" agar memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis kita.
Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2000 an, ada saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan keatas. Apakah hal ini dapat diwujudkan ?
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber-"bisnis". Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekwen, jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat saling menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal perlu ini dibicarakan?
Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa diimbangi dengan dunia bisnis yang ber "moral", dunia ini akan menjadi suatu rimba modern yang di kuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan pernah terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber:
http://fe.usu.ac.id/files/Etika%20bisnis%20manajemen-ritha8.pdf

Apa itu Etika Bisnis

Etika dan integritas merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk mengenalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan.
Kompetisi inilah yang harus memanas belakangan ini. Kata itu mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang berhasil adalah yang mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak yang mengatakan kompetisi lambang ketamakan. Padahal, perdagangan dunia yang lebih bebas dimasa mendatang justru mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas.
Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan eksportir kita yang ditantang untuk terjun ke arena baru yaitu pasar bebas dimasa mendatang. Kemampuan berkompetisi seharusnya sama sekali tidak ditentukan oleh ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan. Inilah yang sering dikonsepkan berbeda oleh penguasa kita.
Jika kita ingin mencapai target ditahun ini, sudah saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan atas.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis, serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu dapat dikurangi, serta kita optimis salah satu kendala dalam menghadapi era globalisasi pada tahun 2000 an dapat diatasi.

sumber:
http://fe.usu.ac.id/files/Etika%20bisnis%20manajemen-ritha8.pdf

Senin, 21 Desember 2009

KASUS LUNA MAYA

Sumber foto : Luna, Alea (ich/detikhot)

MUI pernah mengeluarkan fatwa bahwa acara infotainment haram. karena, acara gosip sama dengan membuka aib orang lain (bergunjing). Dan Bergunjing tidak diperbolehkan dalam Islam.
Infotainment memang ada bagusnya. Tapi kadang, para pencari berita mengganggu privasi orang dengan Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga tidak mendasar.
Kasus Luna maya bermula setelah dia mencaci maki wartawan infotainment di akun twitter pribadinya, pasca terganggunya Luna serta terbenturnya kepala Alea, anak Ariel 'Peterpan' yang digendongnya usai menyaksikan premier Sang Pemimpi di EX, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu, 15 Desember.
Kemudian dia melampiaskan kekesalannya kepada wartawan infotainment melalui Twitter. Melalui account Twitternya, Luna Maya mencaci maki para pekerja Infotainment dengan kalimat bahwa wartawan infotaiment lebih hina dari pelacur dan pembunuh. Kala itu Luna Maya melampiaskan kekesalan isi hatinya karena kecewa dengan cara pekerja infotaiment dalam mencari berita.
Kasus Luna Maya kian memanas setelah segenap wartawan infotaiment dibawah naungan oleh PWI Jaya mengadukan Luna Maya ke polisi (17/12/2009). Luna Maya dilaporkan dalam hal telah melakukan pencemaran nama baik melalui media internet. Namun sampai saat pihak infotainment belum bisa menunjukkan barang bukti. Hanya seorang saksi dari sebuah infotainment yang dibawa serta. Bukti pencemaran nama baik itu saat ini masih dikumpulkan.
Semua itu merujuk kepada tindakan caci maki Luna kepada infotainmen yang dituduh sebagai tindakan pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan, dan perbuatan tidak menyenangkan. Dan jika terbukti Luna melakukan itu semuanya,ia bisa terancam hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

KODE ETIK JURNALISTIK

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan.

Ø Berita diperoleh dengan cara yang jujur.

Ø Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).

Ø Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).

Ø Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.

Ø Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).

Ø Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.

Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:

1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.

2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.

3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.

4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.

6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.

kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.

Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.

KEWI harus mendapat perhatian penuh dari semua wartawan. Hal itu jika memang benar-benar ingin menegakkan citra dan posisi wartawan sebagai “kaum profesional”. Paling tidak, KEWI itu diawasi secara internal oleh pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa.

Selama ini ada kecenderungan hanya wartawan yang dituntut mentaati etika pers, sedangkan pemilik industri pers bisa melakukan semena-mena terhadap wartawan.Misalnya menyangkut gaji dan perlindungan terhadap wartawan.
Leo Batubara, mengatakan hal tersebut, Selasa (31/7) pada acara sosialisasi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan mekanisme hak jawab, di Hotel Quality Pekanbaru. “Selain etika untuk wartawan, juga penting didorong penegakan etika oleh pemilik industri pers,” ujarnya. Penegakan Etika menjadi persoalan mendasar di masyarakat. Sebab masyarakat tanpa ketaatan terhadap etika akan anarkis. Pers menjadikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai landasan etika kerja. Melalui etika, profesi wartawan dapat dijalankan secara profesional. Dijelaskan, Etika pers pertama sekali ditujukan untuk melindungi masyarakat dari pemberitaan yang merugikan. Selanjutnya, dengan sendirinya, masyarakat juga akan melindungi pers.

Tantangan pers saat ini, menurut Leo, adalah peningkatan profesionalisme dan pengelolaan perusahaan pers agar sehat. Dengan mengatasi kedua tantangan tersebut diharapkan penyalahgunaan profesi wartawan dapat berkurang dan wartawan amplop bisa hilang. Berbicara mengenai kiat menghadapi pemberitaan pers pada era reformasi perlu terlebih dahulu diketahui apa yang menjadi azas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranan pers menurut peraturan perundang-undangan, khususnya UU No.40 tahun 1999. Dengan begitu, pelayanan dan kelancaran arus informasi kepada publik, diharapkan dapat tercapai.
Sebab berdasarkan pengalaman, pelayanan dan kelancaran arus informasi kepada publik sering tidak utuh dan tidak lengkap karena tidak adanya transparansi. Hal itu karena tertutupnya sumber informasi di satu sisi dan kurangnya komitmen di sisi lain tentang adanya hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Kalau menyimak UU No.40 tahun 1999 tentang pers secara tegas dimuat mengenai azas pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat.

Fungsi pers ditandaskan sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Sedang mengenai hak pers dikatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi warga negara. Tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pun pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemudian dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Selain mengenai hak, UU Pers juga memuat kewajiban pers yaitu memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta azas praduga tak bersalah. Pers juga wajib melayani hak jawab dan hak koreksi.
Kemudian bagaimana mengenai peranan pers? Dalam UU Pers ditegaskan, pers nasional melaksanakan peranan melalui hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, serta HAM. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Satu substansi penting untuk diingat bahwa UU Pers menjamin dan melindungi secara hukum profesi wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak kewajiban dan peranannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik pemerintah maupun masyarakat
Kalau kita berbicara mengenai kiat menghadapi pemberitaan pers pada era reformasi, beberapa aspek tersebut di atas harus menjadi acuan. Tekanan pemerintah yang otoriter terhadap pemberitaan pers selama sekitar 30 tahun, dan tiba-tiba membuka lebar-lebar kebebasan pers, memang membuat terjadinya semacam kegamangan dalam menerapkan kemerdekaan pers. Kegamangan tidak hanya meliputi jajaran pers, tapi juga masyarakat luas.
Tidak heran kemudian timbul pertanyaan siapa sebenarnya wasit yang berwenang menetapkan terjadinya pelanggaran kode etik sekaligus menjatuhkan vonis atas pelanggaran itu. Pertanyaan itu muncul karena dalam era reformasi sekarang kode etik terkesan kurang dijadikan acuan, sehingga masyarakat menuduh pers Indonesia telah mempraktikkan apa yang disebut “jurnalisme anarki”, “jurnalisme provokasi”, “jurnalisme preman”, “jurnalisme pelintir “, “jurnalisme cabul”, dan berbagai citra negatif lainnya. Padahal pada era kemerdekaan pers yang sangat liberal dewasa ini, penegakan etika pers dan ketentuan hukum sangat penting untuk menjaga dan menghindari agar tidak menjurus pada pemberitaan yang bersifat anarkis. Lebih-lebih sudah sejak lama berkembang pendapat sebagian Kalangan bahwa kode etik tidak perlu. Menurut mereka, kode etik hanya membatasi ruang gerak wartawan, dan membelenggu hak mengeluarkan pendapat dan berekspresi.

Dalam satu sarasehan yang diselenggarakan Dewan Kehormatan PWI bekerjasama dengan LKBN pada sekitar tahun 1989, salah seorang peserta menginterupsi dengan mengatakan bahwa kode etik tidak diperlukan. Peserta tadi bahkan menuduh kode etik jurnalistik sebenarnya hanya produk orang-orang tua yang seharusnya sudah turun panggung, tetapi masih ingin tetap eksis. Sementara bagi para wartawan lain terutama generasi muda kode etik hanya membatasi kebebasan pers terutama dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya.Terus terang, sejak saat itu adanya kecenderungan kalangan sementara wartawan untuk menganggap enteng kode etik sebagai landasan moral profesi.

Pemikiran negatif seperti itu justru seolah-olah mendapat legitimasi dari pemerintah, dengan melakukan deregulasi peraturan perundang-undangan di bidang pers, terutama menyederhanakan pemberian SIUPP. Pemberian SIUPP yang tadinya memerlukan l6 persyaratan, dengan Permenpen No 1 tahun 1998 yang ditandatangani Muhammad Yunus ketika itu disederhanakan hanya menjadi tiga syarat. Prosesnya pun sangat singkat, Menpen Muhammad Yunus juga mencabut SK Menpen No 47 tahun 1975 yang menetapkan PWI dan SPS sebagi satu-satunya organisasi bagi wartawan dan perusahaan pers. Sejak itu, berdiri puluhan organisasi wartawan. Bahkan dimungkinkan seorang wartawan untuk tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan yang ada.

Dengan bebasnya memperoleh SIUPP, siapa saja yang punya modal, dapat menerbitkan surat kabar, majalah, tabloid, dan lain-lain. Rekomendasi dari organisasi profesi juga tidak lagi diperlukan. Tidak heran kemudian ada pimpinan redaksi media yang sama sekali tidak berlatar belakang kewartawanan, sehingga profesionalitas media itu disangsikan. Pemaparan di atas hanya sekadar ilustrasi menggambarkan bahwa kondisi obyektif dunia pers kita sekarang, sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang kurang pas mengenai keberadaan kode etik yang dianggap membatasi kemerdekaan pers. Selain pemikiran yang kurang pas mengenai keberadaan kode etik, ada juga pemikiran agak lucu yang mengatakan, membicarakan etika pers merupakan suatu kemunduran. Pemikiran seperti itu jelas tidak beralasan. Sebab, justru pada era kemerdekaan pers ini, penerapan etika pers menjadi sangat penting. Apabila kemerdekaan pers tidak dipagari etika jurnalistik, justru bisa menjadi bumerang karena akan menjurus ke anarkisme.

Pasalnya, kode etik merupakan rambu-rambu, kaidah penuntun dan sekaligus pemberi arah tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Atas dasar itulah di bagian terdahulu dikemukakan bahwa penerapan dan penegakan etika pers dan hukum sangat penting.
Pilar utama kode etik Perlu diingat, kalau seseorang terjun ke dunia kewartawanan, maka paling tidak ada tiga pilar utama yang menjadi pegangan dalam menjalankan tugasnya.

Piar utama pertama adalah kode etik jurnalistik. Seperti dikemukakan di atas, kode etik merupakan landasan moral, kaidah penuntun dan pemberi arah bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya. Percayalah, tanpa kode etik, pemberitaan pers akan menjadi anarkis. Dalam hubungan ini ada ungkapan tokoh pers nasional almarhum Mahbub Djunaedi, mantan Ketua Umum PWI Pusat. Beliau mengatakan, kode etik memang sengaja dibuat untuk menghindarkan wartawan menjadi terorisme dan anarkis.
Pilar utama kedua adalah norma hukum. Ternyata dalam praktiknya kode etik masih belum cukup. Masih mutlak diperlukan penataan akan norma hukum. Kode etik dan norma hukum memang sangat erat kaitannya. Sebab apa yang dilarang kode etik juga dilarang oleh hukum. Demikian sebaliknya, apa yang dilarang oleh hukum, juga dilarang oleh kode etik Namun etik dan hokum tidak identik Apa pasal?Suatu perbuatan pidana dapat dimaafkan secara hukum, tapi tidak dapat dimaafkan secara etika: Contoh klasik, dua orang yang berada dalam sebuah sampan berlayar di tengah laut tiba-tiba diterpa gelombang besar dan angin ribut, maka kalau ingin selamat salah seorang diantaranya harus dikorbankan. Dalam keadaan darurat seperti itu, tindakan mengorbankan nyawa orang lain untuk menyelamatkan atau membela diri, dapat dimaafkan secara hukum.

Tetapi secara etika tidak dapat dimaafkan .Berkenaan dengan norma hukum tersebut, perlu dikemukakan disini bahwa sejumlah media tengah menghadapi tuntutan hukum, baik pidana maupun perkara perdata umumnya bermuara pada tuntutan ganti rugi yang jumlahnya sangat fantastis meliputi puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Bisa dibayangkan apa jadinya apabila tuntutan ganti rugi tersebut dikabulkan pengadilan. Bisa-bisa media gulung tikar hanya karena terpaksa membayar ganti rugi. Oleh karena itulah penguasaan dan penataa akan norma hukum sangat penting.

Pilar utama ketiga adalah profesionalisme. Dalam praktik, ternyata penataan akan kode etik dan norma hukum saja tidak cukup. Oleh karenanya, mutlak diperlukan profesionalisme. Yaitu keterampilan untuk mengemas dan meramu berita sedemikian rupa, sehingga pesan yang akan disampaikan kepada publik dapat diterima dan dimengerti dengan jelas. Sebab bisa terjadi informasi yang disampaikan kepada publik tersebut tidak utuh dan tidak lengkap serta tidak jelas bahkan terkontaminasi kalau tidak dikemas dan diramu dengan baik sesuai standar berita yang baku. Sebab itu, sekali lagi perlu ditegaskan, ketiga pilar utama berupa norma etik, norma hukum dan profesionalisme dalam dunia kewartawanan sangat penting. Dengan kata lain, menurut persepsi kejurnalistikan, penerapan dan penataan norma etik dan norma hukum serta dukungan profesionalisme merupakan hal yang sangat mutlak. Bahkan penataan norma etik dan norma hukum serta profesionalisme merupakan rambu-rambu kemerdekaan pers yang professional dan bermartabat.

Dalam hubungan ini perlu diingatkan bahwa sekalipun konstitusi dan UU Pers yang berlaku sekarang telah dengan penuh menjamin kemerdekaan pers, namun kemerdekaan pers tidak berarti merdeka untuk melakukan apa saja. Merdeka untuk memfitnah, menghina, mencemarkan nama baik dan lain-lain. Bukan itu maksudnya.


Sumber : http://witantra.wordpress.com/2008/05/19/etika-pers-dan-kode-etik-jurnalistik/